Tegukan pertama dari secangkir kopi itu membuat dahi Freddy Muli berkerut. Ada sensasi lain yang menelusup ke kerongkongannya. Tak lama senyum mantan pelatih tim sepakbola Persebaya itu mengembang. 'Kopi ini benar-benar nikmat,' katanya seraya mengacungkan jempol.
Kisah pada Februari 2009 itu bermula saat Freddy memesan kopi paling enak di kafe Rollaas di mal
City of Tomorrow, Surabaya, Jawa Timur. Anton Sukamto, manajer kafe, lalu menyuguhkan secangkir kopi luwak pada Freddy. Itulah pertama kali pria yang dikenal anak didiknya sebagai peminum kopi sejati itu mencicipi kopi luwak.
Di lidah Freddy kopi suguhan itu ibarat tagline sebuah iklan: Kopi Banget! Beda dengan citarasa kopi asal Jawa, Toraja, Mandailing, Lampung, Aceh, Wamena, dan Biak, bahkan asal Brazil dan Chile yang pernah mampir di lidahnya. Tak cuma itu, 'Kopi luwak memiliki aroma wangi yang kuat dan khas,' kata pria yang selalu meminum kopi minimal 3 gelas sehari sejak 20 tahun lalu itu.
Pantas Freddy sama sekali tak menyesal merogoh kocek Rp100.000 demi secangkir kopi luwak. Kelahiran Sulawesi 47 tahun silam itu bahkan mengoleh-olehi diri sendiri sebungkus berisi 150 g kopi luwak giling senilai
Rp275.000.
Kenikmatan kopi luwak juga menjerat Agus Pakpahan. Deputi Kementerian Negara BUMN bidang Agroindustri itu sepakat kopi luwak enak dan termasuk kopi papan kelas atas. 'Proses produksinya unik, beda dengan kopi lain,' tutur peminum kopi tanpa gula itu. Proses unik itu juga membuat Dr Garthorne Gathorne-Hardy-bangsawan Inggris bergelar
Earl of Cranbrook ke-5-penasaran mencicip kopi luwak sebagai penutup makan malam bersama
Trubus. 'Hmm..tidak sepahit kopi biasa,' katanya.
Harap mafhum, kopi luwak diolah dari biji kopi hasil 'fermentasi' dalam perut luwak.
Paradoxorus hermaproditus itu memilih buah kopi matang di pohon. Lalu mulut kecilnya mengupas kulit buah terluar. Satwa nokturnal (aktif malam hari,
red) itu hanya memakan biji yang masih diselimuti lendir. Nantinya biji keluar lagi saat luwak buang hajat.
Menurut Ir Cahya Ismayadi MSc, peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember, biji kopi masih terbungkus kulit ari yang keras (kulit tanduk,
red) sehingga tak hancur dalam pencernaan luwak dan keluar utuh bersama feses. Bentuk itulah yang dikumpulkan pemetik kopi untuk dicuci lalu dijemur selama 20 hari. Kemudian kulit tanduk dikupas dengan mesin pengupas sehingga dihasilkan green bean-biji kopi kering yang telah dikupas kulit tanduknya dan belum disangrai-siap jual. Ujung-ujungnya jadilah kopi luwak.
'Kemampuan luwak menyeleksi buah dengan tingkat kematangan pas jadi penentu enak tidaknya kopi luwak,' kata Cahya. Di perkebunan, pekerja hanya menyeleksi kematangan kopi berdasarkan tampilan warna kulit buah yang merah tua. 'Beda dengan luwak yang mampu menyeleksi kematangan buah dari aroma dan rasanya,' lanjut Cahya. Di pabrik, biji hasil seleksi pekerja perkebunan difermentasi dengan cara mendiamkan biji kopi dalam keadaan tertutup selama 36 jam. 'Pada kopi luwak fermentasi terjadi pada saluran pencernaan luwak selama 10 jam,' kata Ardi Iriantono, kepala kebun PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII (Persero) wilayah Kalisat-Jampit, Sempol, Bondowoso.
Riset Prof Massimo Marcone dari Universitas Guelph, Kanada, menyebutkan fermentasi pada pencernaan luwak meningkatkan kualitas kopi. Misal kandungan proteinnya lebih rendah ketimbang kopi biasa karena perombakan melalui fermentasi lebih optimal. Protein pembentuk rasa pahit pada kopi saat disangrai. Pantas kopi luwak tak sepahit kopi biasa karena kandungan proteinnya rendah. Komponen yang menguap pun berbeda antara kopi luwak dan kopi biasa. Terbukti aroma dan citarasa kopi luwak sangat khas.
Ir Muhammad Fauji MSi dan Dr Yuli Witono STP MP dari Fakultas Teknologi Pangan Universitas Jember menemukan 7 strain bakteri
Leuconostoc paramesen teroides dari isolasi kotoran luwak. 'Jika bakteri itu bisa dikultur, produsen berpeluang menghasilkan kualitas kopi setara kopi luwak dengan menambah bakteri saat fermentasi,' kata Yuli.
Proses fermentasi tak lazim oleh luwak boleh jadi membuat sebagian orang enggan mengkonsumsinya karena jijik atau takut. Namun, sebagian lagi justru rela membayar mahal untuk mencicip kopi unik itu. Di Eropa secangkir
civet coffee-sebutan kopi luwak-dibanderol sampai 30 euro setara Rp450.000. Di tanahair, secangkir kopi luwak rata-rata Rp100.000
. Jika dalam bentuk
roasted bean-kopi sangrai-harganya Rp2-juta/kg. Itu 40 kali lipat harga kopi nonluwak yang rata-rata hanya Rp50.000 per kg.
Tak ada literatur pasti yang mencatat awal mula kopi hasil fermentasi di perut luwak itu bisa menempati posisi bergengsi di kalangan mania dunia. Secuil informasi didapat dari Kasmito Tina-anggota Specialty Coffee Association Indonesia (SCAI)-yang pernah mendengar cerita dari petani di Lampung tentang sejarah kopi luwak. Sekitar 100 tahun lalu saat era politik tanam paksa diterapkan pemerintah kolonial Belanda, rakyat wajib menyetor semua panen kopi ke pemerintah.
Petani tak boleh mengambil hasil panen segar untuk konsumsi sendiri. Beberapa orang menemukan biji-biji kopi utuh pada kotoran luwak. Itulah yang mereka coba olah untuk minum sehari-hari. 'Kebiasaan itu lalu terdengar para pejabat Belanda yang kemudian jatuh cinta pada citarasanya yang khas. Sejak itu kopi luwak naik kasta dari kopi rakyat menjadi kopi bangsawan,' kata Kasmito. Dunia mengakui kopi luwak sebagai produk asli Indonesia. Kini Vietnam dan Filipina mulai mengekor.
Dibanding total produksi kopi di Indonesia, volume produksi kopi luwak sangat sedikit. PTPN XII hanya mampu hasilkan 1,5 ton kopi luwak per tahun. Itu hanya 0,06% dari total produksi kopi nonluwak yang mencapai 2.500 ton per tahun. Dengan produksi terbatas, harga kopi luwak jadi mahal.
Padahal soal rasa, 'Sangat subjektif, tergantung jenis dan asal kopi yang dimakan luwak. Jika yang dimakan kopi aceh, maka citarasanya ada sensasi fruity. Kopi luwak dari Lintong tetap ada karakter spicy. Namun, pada kopi luwak biasanya ada aroma daun-daunan mirip pandan,' kata Syafruddin, anggota SCAI.
Orang awam sulit membedakan kopi luwak dengan kopi biasa. Makanya untuk menjamin kualitas kopi luwak, beberapa produsen maupun distributor mendaftarkan kopi luwaknya untuk disertifikasi lembaga seperti Sucofindo dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur. Kedua lembaga itu akan menelusuri asal-usul kopi luwak dan menilai kualitasnya.
Berbekal jaminan kualitas itulah pasar kopi luwak terbentang. Selain kafe Rollaas milik PTPN XII yang dibuka setahun lalu, ada kafe La Tazza di Jakarta yang mulai menyediakan kopi luwak sejak awal 2009. PT Java Prima Abadi juga membuka 17 gerai penyedia kopi luwak yang berlokasi di pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta dan Semarang dengan nama gerai Kopi Luwak. Perusahaan kopi yang didirikan Tan Hok Sek itu rutin memproduksi 350 kg kopi luwak setiap bulan sejak 2000. Semuanya hasil luwak liar di lahan seluas 32 ha di Semarang, Jawa Tengah. 'Sejak 3 tahun silam sekitar 80% hasil produksi diekspor ke Jepang, China, Hongkong, Korea, Amerika Serikat, Jerman, dan Bulgaria,' kata Jeff Susanto, direktur marketing PT Java Prima Abadi.
Keseriusan mengembangkan kopi luwak juga terlihat dari upaya PTPN XII menangkarkan luwak sejak 2006 di 5 kebun di Jawa Timur. 'Permintaan dan harga yang tinggi menuntut jaminan kualitas. Dengan penangkaran diharapkan proses produksi kopi luwak lebih terkontrol sehingga kualitas pun terjamin,' ujar Danu Rianto, direktur produksi PTPN XII. Jika luwak ditangkarkan, maka biji kopi bisa langsung diproses segera setelah keluar dari perut luwak.
Penangkaran itu
Trubus saksikan di salah satu kebun PTPN XII di Kalisat, Jampit, Bondowoso. Di kebun yang tak jauh dari kawasan wisata Kawah Ijen itu dipelihara 80 luwak dalam kandang masing-masing berukuran 1,5 m x 2 m x 3 m. Setiap sore saat musim kopi, luwak-luwak itu diberi 3 kg kopi segar berkulit merah. 'Dari jumlah itu, luwak hanya makan setengahnya saja,' kata Dugel Hariyadi, asisten teknik pengolahan kebun PTPN XII di Kalisat-Jampit, Bondowoso. Keesokan paginya, dari tiap satwa malam itu didapat sekitar 1 kg biji kopi luwak basah. Setelah dicuci, dikeringkan selama 20 hari, dan dikupas kulit tanduknya maka diperoleh green bean dengan rendemen 20% dari kopi luwak basah. Kini dari 80 ekor itu diproduksi 500 kg kopi luwak dalam bentuk green bean per tahun.
Pencapaian itu bukan tanpa kendala. 'Tak ada panduan atau referensi cara mendomestikasi luwak. Makanya perlu
trial and error untuk menentukan jenis makanan dan perawatan yang sesuai,' kata Dugel. Di luar musim kopi, luwak diberi pakan buah-buahan seperti pisang atau pepaya diselingi pakan instan dan susu. Binatang yang sering diburu karena dianggap hama itu pun kini dimanjakan demi menghasilkan kopi yang mampu memanjakan lidah bangsawan atau orang berduit macam Freddy Muli dan Agus Pakpahan.
Sumber : majalah Trubus edisi November 2009
Best Regards,
"Radja Kopi Luwak"
email : radjakopiluwak@gmail.com
website : http://radjakopiluwak.blogspot.com
http://radjakopiluwak.indonetwork.co.id